• Home
  • Posts RSS
  • Comments RSS
  • Edit
  • Kamis, 10 Mei 2012

    Aku (?)


    Awalnya kupikir anda-lah dinding tempatku bersandar dari lelahku, juga tempatku berteduh dari teriknya lika-liku kehidupan. Aku percaya jika anda-lah satu-satunya alasan, mengapa aku harus tetap bertahan di setiap hariku, alasanku tersenyum, dan alasan mengapa aku harus tetap berdiri. Walaupun hatiku remuk redam, aku terus, terus, terus, dan terus menunggu. ‘Ku tepis lelah yang terus mendera. Tak pernah ‘ku hiraukan apa kata orang. ‘Kuserahkan seluruh hatiku, juga kepercayaanku. Meski aku tau, aku mungkin saja dapat terjatuh...

    Keinginanku sederhana. Namun tak seorangpun dapat mengerti, termasuk juga dirimu.

    Aku hanya ingin mencari makna “Cinta” bersamamu. Aku hanya ingin merasakan bagaimana rasanya bahagia, denganmu. Aku hanya mau dengan anda. Menghabiskan waktuku denganmu. Tertawa, dan menangis bersamamu. Melewati masa senang, dan sedih bersama. Ingin ‘ku lewati sedih dan sukaku denganmu.

    Saat-saat pertama begitu terasa menjanjikan. Hatiku melambung, dan terbang jauh hingga kelangit. ‘Ku peluk awan gemawan yang menggantung. ‘Ku tingkahi bintang-bintang yang berkerlap-kerlip di angkasa. Dan ‘ku sandarkan segala harapan juga doaku untukmu, di Bulan Sabit yang bersinar terang. Semenjak dirimu disini, senyumku tak pernah berhenti mengembang. Melambangkan hatiku yang tengah dilanda asmara. Semangatku mulai muncul kembali, seiring penantianku atas kehadiranmu.

    Segalanya tampak begitu sempurna. Bahkan terlalu sempurna, untukku. Karena terlalu sempurnanya, tak dapat kurasakan hadirnya ia yang membawa hatimu pergi. Aku tak percaya, kau membiarkan aku menunggu disini sendiri. Kau pergi, dengan seluruh cinta serta harapan yang telah berada di genggamanku. Kau pergi, membawa segalanya yang kuinginkan...

    Tak berapa lama dari kepergianmu, tiba-tiba semuanya terlihat suram untukku. Bintang-bintang di langit kehilangan cahaya gemerlapnya. Matahari tak bersinar lagi. Bahkan bulan yang senantiasa menemaniku pun enggan menampakkan diri lagi.

    Kunikmati rasa perih itu. Bukan. Bukan hanya perih yang terasa. Perih, pedih, sakit, kecewa, dan kesepian yang begitu bercampur aduk kini menjadi satu. Hatiku kini terasa sesak memikirkan anda. Air mata yang tak mau keluar, membuatku semakin tersiksa. Sedikit demi sedikit, ‘ku resapi semua itu, hingga kepala ini terasa berat untuk berpikir. Sembari tertunduk lesu, ‘ku tengadahkan tanganku menyambut rintik-rintik hujan yang datang.

    Sebuah pertanyaan terbesit dalam benakku .Pada hujankah aku mengadu? Ya. Tentu saja, akan kulakukan. Akan ‘kuadukan segalanya pada sang Hujan.

    “Mengapa harus aku, Hujan? Mengapa harus dia? Mengapa pula harus kami!?” teriakku pada tetesan air suci langit yang terus membasahi tubuhku. Kuulangi, dan kuulangi lagi seruanku pada mereka. Dan tak kudapat satu jawaban pun dari mereka.

    Ditengah-tengahnya, lutut terasa lemas. Kemudian aku terjatuh, dan akhirnya menangis. Bukan karena sakit ditubuhku yang kutangisi. Bukan juga karena kebodohanku t’lah bertanya pada hujan. Namun karena sakit di hatiku ini. Rasa sakit yang begitu menghancurkanku menjadi serpihan debu. Yang terasa mencabik-cabik perasaanku yang paling dalam.

    Disela isakan tangis ini, ku rasakan degup jantungku yang berdentum keras. Cukup! Sudah cukup, kubilang. Lalu kupukul dadaku sendiri hingga terasa sakit. Tetapi, sakit ini belum sebanding dengan lara yang kutanggung sekarang.

    Setelahnya, aku berbaring di pinggir jalan waktu. Kupejamkan mata, sembari berdoa.

    “Ya Tuhan, hilangkanlah cintaku kepadanya, bersama dengan mengalirnya tetesan terakhir hujan kali ini, dan keringkanlah lukaku bersama dengan menguapnya aliran air mataku...”

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar