Awalnya kupikir
anda-lah dinding tempatku bersandar dari lelahku, juga tempatku berteduh dari
teriknya lika-liku kehidupan. Aku percaya jika anda-lah satu-satunya alasan,
mengapa aku harus tetap bertahan di setiap hariku, alasanku tersenyum, dan
alasan mengapa aku harus tetap berdiri. Walaupun hatiku remuk redam, aku terus,
terus, terus, dan terus menunggu. ‘Ku tepis lelah yang terus mendera. Tak
pernah ‘ku hiraukan apa kata orang. ‘Kuserahkan seluruh hatiku, juga
kepercayaanku. Meski aku tau, aku mungkin saja dapat terjatuh...
Keinginanku
sederhana. Namun tak seorangpun dapat mengerti, termasuk juga dirimu.
Aku hanya ingin
mencari makna “Cinta” bersamamu. Aku hanya ingin merasakan bagaimana rasanya
bahagia, denganmu. Aku hanya mau dengan anda. Menghabiskan waktuku denganmu.
Tertawa, dan menangis bersamamu. Melewati masa senang, dan sedih bersama. Ingin
‘ku lewati sedih dan sukaku denganmu.
Saat-saat pertama
begitu terasa menjanjikan. Hatiku melambung, dan terbang jauh hingga kelangit.
‘Ku peluk awan gemawan yang menggantung. ‘Ku tingkahi bintang-bintang yang
berkerlap-kerlip di angkasa. Dan ‘ku sandarkan segala harapan juga doaku
untukmu, di Bulan Sabit yang bersinar terang. Semenjak dirimu disini, senyumku
tak pernah berhenti mengembang. Melambangkan hatiku yang tengah dilanda asmara.
Semangatku mulai muncul kembali, seiring penantianku atas kehadiranmu.
Segalanya tampak
begitu sempurna. Bahkan terlalu sempurna, untukku. Karena terlalu sempurnanya,
tak dapat kurasakan hadirnya ia yang membawa hatimu pergi. Aku tak percaya, kau
membiarkan aku menunggu disini sendiri. Kau pergi, dengan seluruh cinta serta
harapan yang telah berada di genggamanku. Kau pergi, membawa segalanya yang
kuinginkan...
Tak berapa lama dari
kepergianmu, tiba-tiba semuanya terlihat suram untukku. Bintang-bintang di
langit kehilangan cahaya gemerlapnya. Matahari tak bersinar lagi. Bahkan bulan
yang senantiasa menemaniku pun enggan menampakkan diri lagi.
Kunikmati rasa perih
itu. Bukan. Bukan hanya perih yang terasa. Perih, pedih, sakit, kecewa, dan
kesepian yang begitu bercampur aduk kini menjadi satu. Hatiku kini terasa sesak
memikirkan anda. Air mata yang tak mau keluar, membuatku semakin tersiksa.
Sedikit demi sedikit, ‘ku resapi semua itu, hingga kepala ini terasa berat
untuk berpikir. Sembari tertunduk lesu, ‘ku tengadahkan tanganku menyambut
rintik-rintik hujan yang datang.
Sebuah pertanyaan
terbesit dalam benakku .Pada hujankah aku mengadu? Ya. Tentu saja, akan
kulakukan. Akan ‘kuadukan segalanya pada sang Hujan.
“Mengapa harus aku,
Hujan? Mengapa harus dia? Mengapa pula harus kami!?” teriakku pada tetesan air
suci langit yang terus membasahi tubuhku. Kuulangi, dan kuulangi lagi seruanku
pada mereka. Dan tak kudapat satu jawaban pun dari mereka.
Ditengah-tengahnya,
lutut terasa lemas. Kemudian aku terjatuh, dan akhirnya menangis. Bukan karena
sakit ditubuhku yang kutangisi. Bukan juga karena kebodohanku t’lah bertanya
pada hujan. Namun karena sakit di hatiku ini. Rasa sakit yang begitu menghancurkanku
menjadi serpihan debu. Yang terasa mencabik-cabik perasaanku yang paling dalam.
Disela isakan tangis
ini, ku rasakan degup jantungku yang berdentum keras. Cukup! Sudah cukup,
kubilang. Lalu kupukul dadaku sendiri hingga terasa sakit. Tetapi, sakit ini
belum sebanding dengan lara yang kutanggung sekarang.
Setelahnya, aku
berbaring di pinggir jalan waktu. Kupejamkan mata, sembari berdoa.
“Ya Tuhan,
hilangkanlah cintaku kepadanya, bersama dengan mengalirnya tetesan terakhir
hujan kali ini, dan keringkanlah lukaku bersama dengan menguapnya aliran air
mataku...”